Tradisi “Famolaya” dalam Adat Öri Moro’ö-Nias Barat
Tradisi “Famolaya” dalam
Adat Öri Moro’ö-Nias Barat
https://candra86daeli.blogspot.com/ |
Secara etimologi, kata famolaya adalah
penghormatan, penyanjungan, peninggian. Kata pasif dari famolaya adalah lafolaya = dihormati,
disanjung, ditinggikan; sedangkan kata aktifnya, yakni mamolaya =
menghormati, menyanjung, meninggikan. Tindakan penghormatan tersebut mengandung
makna etis-edukatif dari suatu ritual adat Nias. Itu sebabnya, jika Raradödö
Gulö, misalnya, tidak menghormati (lö ifolaya) seseorang yang secara adat patut dihormati (lafolaya),
maka Raradödö Gulö dianggap sebagai orang yang “tidak tahu adat.” Akibatnya,
Raradödö Gulö kehilangan wibawa (lakhömi). Sesungguhnya, tradisi famolaya itu
adalah tradisi saling menghormati, saling mengakui wibawa masing-masing.
Di Öri Moro’ö-Nias Barat, ritual tradisi famolaya sudah
mulai dilakukan pada saat seseorang möi mbambatö (pergi berbesanan). Misalnya, putri Ama
Raradödö Zai bernama Futi Barasi Zai hendak dinikahi oleh putra dari Ama
Zohahau Gulö, yang bernama Atöni Gulö. Jika sebelum pesta perkawinan tiba, Ama
Raradödö pergi ke rumah Ama Zohahau, maka itu artinya pergi berbesanan. Pada
saat itu, Ama Zohahau, secara adat, patut menghormati calon besannya dengan dua
ekor babi: sara
zataha, ba sara zasoso (seekor babi hidup dan seekor babi yang
dimasak sebagai lauk Ama Raradödö).
Tradisi
‘pergi berbesanan’ tidak hanya dilakukan sebelum pesta perkawinan tiba. Bisa
juga pada saat famasao bahkan setelah pesta perkawinan. Pesta famasao adalah
pesta untuk mengantarkan mempelai perempuan ke rumah mempelai laki-laki.
Kadangkala, bukan hanya ayah mempelai perempuan (ni’owalu)
yang ‘pergi berbesanan melainkan ibu mempelai perempuan. Jika kedua orangtua ini
(Ayah-Ibu) pergi berbesanan, maka babi untuk penghormatan (bawi famolaya)
semakin bertambah: sara ndiwo, sara wamolaya nama ba sara wamolaya nina (seekor
babi untuk dijadikan lauk pauk, seekor untuk menghormati ayah dan seekor untuk
menghormati Ibu).
Selain,
ayah-Ibu dari ni’owalu, pihak lain yang berhak menerima famolaya adalah sirege (saudara
ayah ni’owalu).
Dalam tradisi ‘pergi berbesanan,’ kadangkala atas kesepakatan bersama, sirege inilah
yang diutus untuk pergi berbesanan. Walaupun demikian, tidak sedikit sirege ini
justru pergi berbesanan tanpa sepengetahuan ayah mempelai perempuan. Jika
terjadi demikian, maka konflik pecah di antara mereka.
Tradisi famolaya terungkap
juga dalam ritual fatomesa (per-tamu-an). Misalnya,
paman ni’owalu (paman
= sibaya/uwu)
pergi ke rumah pengantin perempuan yang notabene adalah keponakannya. Dalam
tradisi Nias, mereka yang disebut paman adalah saudara laki-laki dari ibu.
Orangtua pengantin perempuan wajib hukumnya menghormati paman ni’owalu tersebut.
Jika
pada saat famasao, saudara ni’owalu pergi
bertamu (möi
tome), maka ia juga secara adat patut dihormati, minimal: sara zataha, ba
sara zasoso (seekor babi untuk lauk pauk, dan seekor babi
hidup). Pada zaman dahulu, praktek famolaya semacam inilah yang menjadi salah satu
penyebab besarnya böwö perkawinan Nias. ‘Böwö famolaya’ kadang
tidak termasuk di dalam böwö yang sudah disepakati bersama. Jika pihak yang
“pergi bertamu” dalam acara famasao ada 5 orang, dan setiap orang mesti dihormati
dengan 2 ekor babi, minimal berukuran 4 alisi, maka sudah 10 ekor babi hanya
untuk penghormatan pihak nifolaya.
Sebenarnya,
tradisi famolaya semacam
ini tidak disebut dalam bagian-bagian inti böwö (mahar)
perkawinan. Tradisi famolaya tersebut dimasukkan dalam kategori “bulu-bulu
mböwö” (tambahan-tambahan mas kawin). Dalam konteks adat Öri Moro’ö-Nias
Barat, diwo (lauk
pauk) itu sebesar 1 balaki (sebatang emas). Nilai 1 balaki, bervariasi:
paling tidak 2 x 4 alisi babi, ukuran sedang sebesar 3 x 4 alisi babi, dan
ukuran penuh sebesar 4 x 4 alisi babi. Pada bulan Juli 2011 lalu, nilai 4 alisi babi
= Rp 1. 260. 000 (satu juta dua ratus enam puluh ribu rupiah). Dengan kata
lain, nilai 2 x 4 alisi = Rp 2. 520. 000 (dua juta lima ratus dua puluh ribu
rupiah); 3 x 4 alisi = Rp 3. 780. 000 (tiga juta tujuh ratus delapan puluh ribu
rupiah); dan 4 x 4 alisi = Rp 5. 040. 000 (lima juta empat puluh ribu rupiah).
Sedangkan,
babi hidup, minimal berukuran sazilo. Babi hidup ini biasanya, diikat di halaman
rumah agar semua pengunjung tahu bahwa pihak sangowalu menghormati
pihak nifolaya. Nilai sazilo babi
= 31 laharö.
Pada bulan Juli 2011, setiap 1 laharö sebesar Rp 60. 000 (enam puluh ribu rupiah).
Dengan demikian, sazilo babi sama dengan Rp 1. 860. 000 (satu juta
delapan ratus enam puluh ribu rupiah).
Kita
bersyukur karena tradisi famolaya dalam bentuk material ini sudah mulai
ditinggalkan. Namun, kita berharap pula agar semangat saling menghormati itu
tetap dipelihara oleh masyarakat Nias. Tradisi saling menghormati merupakan
ekspresi nyata pembinaan persaudaraan sekaligus perekat ikatan kekeluargaan
antarmasyarakat suku Nias.
Pada
zaman sekarang, bawi famolaya, cenderung disesuaikan dengan kesanggupan
pihak yang memberi penghormatan (samolaya). Sudah banyak warga Nias yang menyadari
bahwa famolaya tidak
harus dengan materi “babi” tetapi juga dengan cara-cara yang sepadan, tutur
kata, sopan santun, atau jamuan makan seadanya.
Dalam
paparan di atas, tradisi famolaya, terjadi jika pihak-pihak nifolaya pergi
ke rumah orangtua mempelai laki-laki (sangowalu). Jika mereka ini tidak pergi ke rumah sangowalu berarti
mereka juga tidak mendapat penghormatan dalam bentuk pemberian babi atau emas
itu. Biasanya, pihak-pihak yang seharusnya mendapat penghormatan, memilih tidak
pergi ke rumah orangtua sangowalu, karena mereka tidak ingin jika umönö (menantu)
mereka terbebani.
Secara
adat, ada cara yang dapat ditempuh oleh samolaya agar nifolaya tidak jadi pergi ke rumah sangowalu. Cara
itu disebut ba’a-ba’a zumange (pencegahan penghormatan). Pihak samolaya memberikan
babi ba’a-ba’a
zumange dalam ukuran babi yang lebih kecil, bisa hanya 4 alisi babi.
Dalam pembicaraan adat, ba’a-ba’a zumange tidak selalu gampang diterima oleh
pihak nifolaya. Ada
pihak nifolaya yang
tetap ingin ke rumah sangowalu karena ia sadar bahwa di sana famolaya yang
ia terima lebih besar.
Bukan Sekadar Materi
Di
balik tradisi famolaya, ada makna nilai luhur kultural yang
terkandung di dalamnya. Pada saat Ama Raradödö, misalnya, menghormati besannya,
pada saat itulah ia memuliakan besannya (ifolakhömi mbambatönia), bukan sekadar menghormatinya.
Kemuliaan/wibawa (lakhömi) dari besannya, merupakan lakhömi dari
Ama Raradödö juga. Jadi, tujuan tertinggi dari tradisi famolaya adalah
sikap saling menghormati, tindakan saling merendahkan diri dan memuliakan yang
lain, serta tindakan saling mengangkat harkat-derajat orang lain, bahkan
membuat orang lain berwibawa dan layak dihormati. Oleh karena itulah pemberian
babi kepada nifolaya, tidak dapat diartikan sebagai aktivitas
ekonomis-material. Pemberian babi tersebut semata-mata sebagai simbol yang
dapat dilihat, bahwa seseorang menghormati besannya dan kerabat istrinya (talifusö, sirege).
Pada
zaman dahulu, beternak babi di Nias sangat menjanjikan. Babi berkembang biak
dengan baik tanpa penyakit. Saya masih ingat, waktu saya masih kecil, babi kami
berlimpah di kandang, ada juga yang dilepas di dalam pagar (mududu mbawi ba
mbarö göli). Jika babi berlimpah di kandang dan di dalam pagar,
masuk akal jika seseorang tanpa merasa “terbebani”, pasti sanggup dan mau
menghormati (mamolaya)
ipar atau saudara istrinya.
Zaman
sudah berubah. Babi-babi di Nias gampang terserang penyakit mematikan. Beternak
babi pun bukanlah pekerjaan yang menjanjikan hasil yang menguntungkan. Pada
zaman sekarang, jika beternak babi, seseorang mesti mengeluarkan banyak uang
untuk membeli vaksin atau obat babi. Kalau tidak, babinya tidak berkembang biak
bahkan mati seketika.
Melihat
konteks zaman ini, kita patut berterima kasih kepada warga Nias yang sudah
tidak lagi menuntut pihak-pihak samolaya melakukan kewajiban adatnya, yakni menghormati
ipar, mertua, talifusö dengan sejumlah babi. Kita juga berterima
kasih kepada warga Nias yang sudah memahami bahwa inti tradisi famolaya adalah
perbuatan etis-kultural bukan ekonomis-material. Semoga kesadaran-kesadaran
semacam ini semakin membangun budaya Nias dan bukan justru melupakannya.
Marilah kita memelihara tradisi famolaya dengan tindakan-tindakan yang sepadan, tidak
harus dengan materi “babi” yang sekarang semakin “mahal” memeliharanya di Nias.
Tag:
pakaian suku adat nias
adat Nias Barat
Gambar untuk adat Nias
Komentar